CELAH


Seorang pemuda berkata kepada ayahnya yang sedang mengecet dinding rumah bagian dalam:
“Ayah, mungkin kita perlu membuat jendela dan pintu pada celah dinding yang terbuka itu”
“Biarlah dinding ini dulu yang kita cat, anakku”jawab ayahnya
“Tapi celah itu akan membuat kita tidak nyaman di dalam rumah, ayah” si anak mencoba meyakinkan ayahnya
“Ayah ingin melihat dinding ini terlihat indah, biarlah ayah memperindahnya dulu. Celah itu nantilah kita pikirkan” jawab sang ayah tetap pada pendiriannya.
“Buat siapakah ayah memperindah dinding itu, apalah gunanya keindahannya jika kami pada akhirnya merasa tidak nyaman berada di dalam rumah?”
“Ayah melakukan ini semua untuk kalian, anakku. Tolong tinggalkan ayah, biarkan ayah bekerja dulu” sang ayah tetap kokoh dengan pendiriannya.
            Pemuda itu kemudian meninggalkan ayahnya, sementara itu beberapa saudaranya yang lain nampak mulai membantu ayahnya. Pemuda itu mencoba mencari cara meyakinkan ayahnya betapa celah di dinding rumah telah membuatnya serta beberapa saudaranya merasa tidak nyaman. Mereka ingin membuatkan pintu dan jendela untuk rumah itu biar mereka merasa nyaman akan tetapi rumah itu bukanlah rumahnya sendiri melainkan rumah bersama dengan sang Ayah sebagai pemegang kendali.
            Pemuda dan saudaranya yang merasa tidak nyaman berada di rumahnya itu kemudian memilih untuk mencari kesibukan di luar rumah. Mereka kemudian menemukan tempat dimana mereka merasa nyaman. Sebuah rumah yang baru bagi mereka dimana mereka merasakan kebersamaan karena kesamaan minat. Rumah baru tersebut memang nyaman namun membutuhkan biaya yang sangat mahal untuk berada di situ. Biaya mahal yang rela dibayar si pemuda dan saudara-saudaranya demi mendapatkan kenyamanan yang tidak diperoleh di rumah.
            Sang Ayah yang mulai menyadari ketidakhadiran beberapa anaknya di rumah mulai merasa gelisah. Nalurinya sebagai orang tua menuntutnya untuk mencari anak-anaknya yang hilang. Pencarian yang membawanya ke rumah baru anak-anaknya. Sayangnya, sang Ayah tidak melakukan pendekatan bijaksana. Sang ayah hanya melihat perilaku anaknya dan kemudian membawa pergaulan anak-anaknya yang dianggapnya buruk untuk dibicarakan dalam forum-forum resmi bahkan doa-doa untuk mereka selalu terucap tanpa sebuah usaha. Tidak ada percakapan yang coba dibentuk, tidak ada pendekatan personal sebelum palu diketukkan tiga kali di meja hijau. Penghakiman itu muncul dan tentu saja menyakitkan hati anak-anaknya yang hanya mencoba mencari kenyamanan di luar rumah yang tidak nyaman lagi bagi mereka.
            Sebuah cap dengan label, BURUK bagai telah menempel di dahi anak-anak tersebut. Label itu mungkin hilang berkat kemurahan tetes hujan, tiupan angin atau debu yang datang dan melunturkan tintanya, namun tanpa disadari orang bahwa label itu telah melukai si anak lebih dalam, luka dengan bekas yang tidak mudah dihilangkan hanya saja sangat mudah untuk disembunyikan.